Salah Satu Dampak Belajar Psikologi: Terjebak pada Suatu Situasi Rumit

Ada banyak hal yang melatarbelakangi manusia untuk memiliki perilaku tertentu. Gen dan lingkungan adalah dua poin klasifikasinya secara umum. Sebagian besar Ilmuwan Psikologi mempercayai bahwa faktor genetik hanya berperan sebesar 30%. Sisanya, lingkungan. Dari sini, kita bisa melihat betapa dominannya faktor lingkungan ini. 

Lingkungan yang memengaruhi manusia mencakup sejak masih di dalam kandungan. Orang tua, saudara, teman, sekolah, lingkungan rumah, pola asuh yang digunakan orang tua, semuanya memiliki andil dalam pembentukan perilaku, karakter dan kepribadian seseorang. 

Tahun pertama kemarin, aku belajar Psikologi Perkembangan. 'Ilm Nafs Numuw. Subtemanya meliputi perkembangan sejak tahap janin, anak-anak, remaja, dewasa dan lansia. Dari beragamnya teori perkembangan yang disampaikan, ada sebuah pernyataan dari Sigmund Freud, Bapak Psikoanalisa. Freud percaya, masa kecil—dalam hal ini usia balita— adalah masa yang paling krusial bagi seseorang. Hal-hal yang terjadi di masa kecil akan besar kemungkinan terbawa pengaruhnya hingga dewasa, memberi implikasi tertentu terhadap fase-fase perkembangan selanjutnya. Apa yang pernah dialami seseorang di masa kecilnya akan memengaruhi dan pengaruh itu akan sangat sulit diubah.

Mereka yang cenderung sulit menentukan pendapat. Bisa disebabkan oleh pola asuh orang tua yang berbeda antara Ayah dan Ibunya. Mereka yang memiliki kecenderungan menjatuhkan orang lain, bisa diakibatkan dari kurangnya —bahkan tiadanya—penghargaan orang tua saat masih kanak-kanak. Mereka yang berperilaku selalu ingin menjadi pusat perhatian atau 'self centered', biasanya melakukan itu karena 'butuh' dan 'haus' akan perhatian. 

Perilaku-perilaku yang terkadang terlihat dan terasa menyebalkan bagi yang melihat atau berinteraksi itu, dikarenakan oleh luka yang—seakan—abadi. Ruang yang kosong, yang belum sempat terisi di masa seharusnya ia terisi. 

Begitulah Psikologi membawa sebuah perubahan besar  buatku; rasa toleransi dan memaklumi yang menjadi tinggi kepada lawan bicara atau kawan atau siapapun itu, yang 'bertingkah menyebalkan' kepadaku. 

Di sini akar masalahnya. 
Ketika berhadapan dengan perilaku-perilaku 'menyebalkan' ini, aku —sebenarnya—sangat ingin mengungkapkan rasa kesalku. Dengan marah, atau menangis, atau apapun itu. Tapi, kehadiran asumsi yang melahirkan rasa toleransi begitu besar itu membuatku mengurungkan amarah atau tangis. Yang ada di kepalaku adalah bahwa mereka yang sedang 'menyebalkan' ini menyimpan luka yang bahkan entah mereka sendiri sadari atau tidak. Asumsi-asumsi terbentuk, aku jadi mewajarkan hal-hal yang menurutku 'menyebalkan'. 

Pengurungan ini merupakan salah satu bentuk defence mechanism, yaitu represi. Represi berarti menekan hal-hal tidak nyaman yang terjadi ke alam bawah sadar. 

Maka pada wilayah memori jangka pendek, ia akan enyah saat itu juga. Namun yang berbahaya adalah: ia bisa muncul kembali, meski dengan pemicu yang berbeda dan bahkan tidak berkesinambungan sama sekali. 

Amarah-amarah yang melulu diurungkan, tangisan yang ditahan, lama kelamaan membukit di alam bawah sadar. Saat sedang tertekan—terlepas dari apapun itu penyebabnya—amarah atau tangis ini bisa begitu saja terlepas. Padahal, bisa jadi sebenarnya pemicunya sepele. 

Ini membuat kondisi psikis jadi terasa kurang sehat. Tapi, masalah kemudian bercabang karena apa yang kubaca belum bisa mengantarkanku untuk berdamai dengan diriku sendiri. 

Tapi setidaknya, kesadaran akan hal ini sudah menjadi satu poin pencapaian. Maka selanjutnya adalah mencari kepingan puzzle yang masih entah di mana. 

Tapi semoga saja dia dekat, dan aku mampu untuk mendekat.

Hhh.




Komentar

Postingan Populer