bukan tentang aku

Belakangan ini aku banyak bersyukur. Sebuah kenikmatan kecil yang berulang kali memberi letup-letup kegembiraan kecil di tengah stagnasi hidup.

Sederhana, tapi alhamdulillah sekarang makan sudah terasa enak. Makanannya terasa menggairahkan, meski kegiatan makan belum memberi excitement sebesar itu. Aku juga belum bisa merasa kenyang seperti dulu; kalau makan terlalu banyak, tiba-tiba sudah mual saja. Padahal piringku belum kosong, terpaksa berhenti biarpun sulit karena aku terbiasa menghabiskan makananku. Setelah beberapa kali kejadian mual yang bikin nggak nyaman itu, aku mengurangi betul porsiku, padahal perutku terasa lapar. Mungkin beginilah cara Tuhan untuk mengajarkan aku rasa ‘cukup’. Biarpun mulut masih ingin mengunyah, perutku sudah betul-betul tidak bisa mentolerir.

Tapi aku juga bersyukur; bisa kembali merasakan lapar. Makan tanpa harus merasa tidak nyaman setelahnya, bolak-balik buang air. Bersahabat sekali dengan kamar mandi. Pilihan menu makan juga sangat terbatas. Tetap saja, saat merasa sedikit lebih baik, mulai memberanikan diri untuk coba-coba makanan baru; tengah malam demam dan harus ke kamar mandi karena perutku belum cocok. Kemudian pagi harinya nafsu makanku akan menurun, badan lemas dan tidak akan ingat makan kecuali jika diingatkan. Sepanjang hari akan di dalam selimut saja sambil menggigil.

Bernapas juga sudah mulai terasa mudah walaupun terkadang masih sedikit sesak kalau terlewat waktu makan. Kemarin-kemarin, rasanya ‘apa lebih baik gak usah hidup ya biar gak perlu bernapas?’ karena sungguh nyeri betul. Dada kiri atasku seperti terbakar. Saat-saat sujud atau rukuk adalah yang paling menyiksa. Kalau tidak sanggup betul aku akan duduk saja meski terkesan agak berlebihan dan seperti seharusnya masih bisa diusahakan. Tapi, aku hanya betul nggak sanggup.

Perlahan, keadaan berangsur membaik, dengan perawatan macam-macam yang diupayakan. Aku begitu kagum ternyata pikiran punya andil begitu besar untuk menentukan tubuh sehat-sehat atau nggak (maksudnya, secara empiris dan bukan teoretis. Tentu saja aku banyak menemukan pembahasan ini di diktat kuliahku. Karena, siapa kira aku akan benar-benar mengalami ini yakan?!).  

Selain berusaha menerima dan beradaptasi dengan rasa sakit dan nyeri yang konstan, waktu luangku begitu banyak. Waktu-waktu yang berlalu tanpa aktivitas apapun ini membuatku inevitably berimajinasi kemana-mana. Kadang aku merasa sepertinya sebentar lagi hidupku sudah usai karena ini sakitnya kok macam-macam banget? Pikiran itu makin intens kalau rasa sakit yang dirasa mereda setelah berhasil bikin aku kesal karena ketidakmampuanku mengatur kapan dia boleh datang. Aku merasa aku benar-benar sendirian menghadapi ini dan tak akan ada yang berubah juga jika aku nggak ada di dunia ini. Untungnya, beberapa hari ini akal sehatku kembali dominan dan aku sudah mulai sadar bahwa hidupku layak dijalani sebaik mungkin.

Aku nggak pernah sangka bahwa disfungsi pada mode auto-pilot tubuh ternyata memberi dampak yang begitu signifikan ya. Mungkin tulisan ini agak hiperbola kalau dibaca lagi saat sudah betul-betul sehat nanti. Nyata nggak nyata gitu aku berada dalam situasi ini. Sebelum kejadian, aku tau tubuhku sudah berulang kali mengirim sinyal yang tak kunjung terbaca olehku. Tetapi waktu itu di depanku begitu berkabut, kepalaku bising, jadi linglung, bingung, semuanya penuh ambiguitas. Setelah cuaca mulai hangat, kabutnya berkurang, aku mulai bisa kilas balik. Seharusnya begini, seharusnya nggak begitu dan lain-lain.

Memang sebetulnya nggak ada yang perlu dipaksakan. Semua sesuai kadarnya saja. Tapi kadarmu dan kadar orang lain berbeda. Kamu nggak selamanya superior. Biasa saja, begitulah manusia. Akan ada yang tak mau mengerti dan mengaku lebih benar; nggak perlu dipaksakan juga. Prioritasmu adalah dirimu, karena nggak akan ada yang melakukan itu untukmu.

Begitulah, semoga kamu semua yang baca, harinya baik dan menyenangkan.  

Komentar

Postingan Populer