Secercah Benderang di Tengah Gulita Duwe`ah.

Sudah sedari tadi punggungku merebah. Ibu masih sibuk menambal selimut kami. Kelihaiannya menjahit memang sudah tak diragukan lagi. Buktinya, sejak terakhir kali menambal lima tahun lalu, baru hari ini selimut itu berlubang lagi. 

Tirai di pintu jatuh. Sepertinya perekatnya lepas karena angin. Kemarin, aku melihat Ayah sempat menempelkan kain bercorak garis-garis --yang aku lupa warna aslinya apa, tapi ia terlihat abu-abu sekarang-- itu dengan selotip. Tapi aku sudah yakin akan cepat tanggal. Mana bisa selotip itu bertahan lama kalau ditempelkan ke dinding berpasir seperti rumahku?

Benar saja, malam ini Ayah kembali memperbaikinya. Tapi, kali ini ia sudah meminta ibu menjahit pinggiran kain itu dengan tali, sehingga bisa diikatkan ke penyangga di dekat pintu. 

Sudah lebih sebulan proyek di dekat rumahku belum juga usai. Bangunan-bangunan dihancurkan. Dengar-dengar sih,  untuk perluasan jalan. Banyak sekali mobil-mobil raksasa bertangan satu; kebanyakan warnanya kuning, yang di pagi dan sore bergerak kesana kemari. Aku senang sekali, karena aku tak pernah melihat yang seperti itu sebelumnya. Tapi aku juga takut mobil-mobil itu merobohkan serta rumahku. Seringkali aku mengira rumahku akan ikut tergusur dengan getaran-getaran yang disebabkan mobil raksasa. Tapi, nyatanya aku masih bisa tinggal disini kok. Meski setiap pagi saat ingin keluar, kakiku sering tersandung gundukan puing-puing bebatuan di depan pintu rumahku. 

Angin bertiup menggoyang tirai kain yang sudah berhasil dipasang Ayah. Aku membalikkan badanku ke kanan; dan kulihat samar roda kendaraan yang melaju di jalan di depan rumah. Sambil sesekali terbatuk; meski aku suka melihat roda -roda yang berputar itu, tapi debu jadi mudah sekali beterbangan. 

Kuluruskan tubuhku dan kuhadapkan kepalaku menatap langit-langit. Di sela-sela atap bisa kulihat hitamnya langit. Di sisi lain, terlihat bintang yang meredup; mungkin karena rumahku lampunya masih menyala. 

Hei, ternyata Ibu sudah selesai menjahit! Aku harus segera memejamkan mata sebelum dimarahinya. 

Kugelapkan pandanganku, bayang-bayang ibu masih terlihat saat ia meletakkan selimut yang barusan ditambalnya menutupi tubuhku. 

Dahiku mengernyit; 
Tapi, bu! 
Kakiku masih luput dari jangkauan selimut ini! 
Tapi, baiklah. Aku putuskan untuk menekuknya saja. Lagipula, kata Ibu, bila selimut atau baju sudah terasa semakin kecil, itu artinya aku yang tumbuh membesar. Toh, siapa yang tak ingin segera tumbuh, ya kan? 

Oke teman-teman. Aku sudahi dulu berceritanya. Semoga tidur kalian lelap, seperti tidurku yang tak pernah tak lelap. 

Selamat tidur dan selamat malam! 






Komentar

Postingan Populer