Gara-Gara Pamunqkas.

Dan disinilah akhirnya aku. Termangu dibawah bintang yang berusaha terang, bersaing dengan sinar lampu-lampu. Sementara sepoi-sepoi kenangan membelai lembut, kabel putih bercabang dua menyalurkan lantunan gita tentang cinta dari gawai, menari-nari gemanya di telinga. 

Ah... malam terasa makin manis saja. 

Oh ya. 
Ngomong-ngomong, aku banyak berandai malam ini. 

Berandai, 
Jikalau saja mampu kuhadiahkan lagu-lagu yang kutulis tentangmu, 
Untukmu.

Berandai, 
Jikalau saja mampu kubentangkan lenganku mendekapmu,
beserta semua lukamu,
menyembuhkanmu. 

Berandai, 
Jikalau saja mampu kuberikan semua waktu, 
seutuhnya, 
kepadamu. 
Mendengarkanmu menceritakan kisah-kisah yang menunggu temu.

Bahkan jarak pun akan kutantang. 
Seberapa jauh ia berani menghampar menakut-nakutiku tak akan berani aku mengarunginya?

Wah, main-main dia. 
Kukatakan saja, asal bersamamu, yakinku tak akan luntur walau sedikit!

Di larut malam atau pagi buta, segenap mampu akan kukerahkan untuk membuat bibirmu selalu tersenyum. Dan bila sempat seluruh dunia berpaling darimu, maka saat itu pula akan kuproklamasikan aku tak akan turut bersekutu dengan dunia. 

Aku, 
Tak akan tak pernah ada.
Tak pernah tak untukmu.

Tapi, hei. 
Selain berandai, aku juga banyak bertanya malam ini. 

Bertanya,
Sebuah pemberian, apakah tetap pemberian jika tak diterima? 
Segala kemampuan, apakah tetap kemampuan jika tak ada kesempatan melakukan? 

Bagaimana aku tau kalau aku mampu, 
Menghadiahkan lagu-lagu untukmu,
Mendekapmu menyembuhkan luka-lukamu,
Memberikan semua waktu kepadamu,


Kalau bahkan kau saja tak bersedia membantuku mampu dengan menerimanya? 

Nahas. 
Tangan kita ternyata tiada saling bertepuk.

Tapi syukurlah, 
Meski hilang kesempatanku membuktikan aku mampu jadi untukmu, 
Setidaknya hari ini aku masih mampu menelan realita. 

Hmm
Baiklah kalau kau tak mau makan bersamaku.
Tapi satu pintaku;
Karena kau tak disana untuk menyodorkanku segelas air,
Doakan saja aku tak tersedak,

Lalu mati.









Komentar

Postingan Populer