Untukmu; Sebuah surat yang tidak akan pernah dikirim (2)

Sekarang, adalah fase dimana semesta membuka perlahan demi perlahan rahasia yang dulu sempat kukubur dengan paradigmaku. Segala anggapan dan prasangka yang kian kupertahankan membuat mataku picik akan apa sesungguhnya yang sedang terjadi.

Kebutaan inilah yang kemudian membuat jalanku tak lagi kukenal, arahnya berkelok-kelok, membuatku kepalaku pusing, mabuk aku kepayang, tapi terus saja kubawa diriku serta, jiwaku melayang-layang terbang. Dan saat terbuka mataku, tersesat aku, oleng sempoyongan, terjatuh kemudian dalam jebakan yang aku buat sendiri.

Kau semakin jauh saja. Aku yang terlalu naif selama ini karena tak kunjung ku tau bahwa sebenarnya kau memang jauh. Saat itu kugilir lini masa Pinterest dan menemukan sebuah kutipan. Kita, tak ubahnya dua orang asing yang terlalu tau satu sama lain. Aku, kurasa telah membagi kisahku hingga hampir utuh. Dan ternyata, masih banyak darimu yang tak kuketahui. Benarkah kita saling tau? Atau yang ada adalah dinding kasat yang ternyata menjulang tinggi membatasi?

Ketiadaanmu hari ini membuatku mencari. Entah sadarkah kau atau tidak, tapi dengan ketidakhadiranmu ini kusangka telah enyah hasratmu untuk mencariku juga. Kau pasti akan menyalahkanku tentang banyaknya praduga yang kuolah dalam pikiranku. Tapi yang kau tak tau adalah apa yang telah aku lihat.

Aku tau sebenarnya ini adalah sebuah pelarian berkedok. Seniorku berkata pasal teori 0-100 yang berbalik dengan 100-0. Menyesal aku terlalu membawa serta hatiku kemana jiwa ingin pergi. Ternyata saat kusampai, aku dilempar dan tak lagi dianggap ada. Setelah lama dituntun dengan segala rayu hingga paksa menuju tingginya angkasa. Entah kepada apa aku harus berpegangan, karena hanya tanganmu yang kukenal pernah terulur. Ironi, ternyata tangan itu pulalah yang membiarkanku terjun dari ketinggian. Berdebam tubuhku menghempas tanah, kemudian jatuh bulir air mataku menyesal, terseok tanganku mengumpulkan puing hati yang bertebaran di sekitaran titik jatuhku.

Ketulusan ini kenapalah dipermainkan. Kepercayaan ini kenapalah disiakan. Padahal dengan seluruh kuberi. Salahku juga, masih terus-terusan menganggapmu baik. Padahal, aku hanya tak tau bagaimana kau sebenarnya dan kau anggap apa sebetulnya yang sekian lama terlewati ini.

Biarlah sudah. Yang berlalu biarlah berlalu. Tak semua harus melulu jadi selalu. Seperti kita, biarlah diksi ini tak lagi berlaku antara aku dan kau. Karena tak harus kebersamaan ini selalu. Untuk apa memelihara perih, untuk apa bersandar pada fondasi rapuh. Kembalikan pikir jernih, seimbangkan peran hati, otak jangan sampai malfungsi. Aku dan kau punya jalan masing-masing, masih buram kemana berujung. Dalam beberapa persinggahan mungkin akan bersama, tapi tak perlulah menyiratkan kepemilikan atas satu sama lain.

I can't say that i love you, honestly. I was too far from the state of being understood about this matter. But anyway, i'm pretty sure that i am now letting you go.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer