Sebelum Dua Puluh.

Terbentuk sebuah bayang dibenak;  bagaimana jika aku pergi saja? Pergi dari semua yang mengekang dan mengikat.

Bayang-bayang lalu bermetamorfosa jadi rencana, menimbang-nimbang walau keruh akal terasa; haruskah aku berlari? Atau mungkin, berjalan berjingkat-jingkat, mengendap-endap tak bersuara?

Memang payah, maaf.

Banyak percaya yang setitik dua titik malah terbalas kecewa.

Memang payah, maaf.

Terkadang tanya hanya terjawab sungging senyum, atau bahkan tanda centang biru yang teronggok tanpa balas.

Memang payah, maaf.

Seringnya setelah lahir sebuah hasil, bersambut pula kesalahan-kesalahan yang menunda.

Memang payah, maaf.

Begitu mudahnya lisan mengucap kata maaf, angguk manis seperti otomatis, mengiyakan segala pinta agar bisa segera berlalu.

Terlalu kagum aku dengan kelapangan hati yang hampir selalu mengaminkan mohonku, memaklumi khilafku, bertahan tak meninggalkanku.

Terlalu kalut aku dengan hatiku yang terus menuntut otak berpikir bagaimana caraku membalasmu. Inginku selalu membahagiakan, membuat puas bibir mengulas senyum, dahaga dalam hati melega dengan kepuasan.

Kuharap waktu selalu sabar mengajariku bagaimana aku wujudkan semua mauku.

Kepada kalian yang jadi bagian dalam kehidupan akhir umur belasan, aku sampaikan terimakasih.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer