Absurditas Menembus Batas.

Entah harus aku bersyukur atau penuh sesal dengan diriku yang seperti ini. Penuh terka, berbaik sangka, terus-terusan berekspektasi, di anganku yang ada hanya kemungkinan-kemungkinan indah. Menampik segala sukar dan sendu, agar pergi mereka jauh-jauh. Optimismeku seperti samudera, tiada ujung sejauh mata memandang.

Malam ini malamku dikudetanya. Datangnya sungguh tetiba, rengkuhnya menenangkan dan tulusnya nyata terasa. Ulas senyum yang dalam beberapa hari ini kerap dilemparnya perlahan bermetafora jadi bunga-bunga musim semi yang rekah bermekaran dengan cantik. Tak takut, terserah orang mau pandang apa. Binar mata yang memancarkan bahagia membuat hatiku turut bersuka ria. Hadirnya cepat, tapi kagumku adalah secepat itu pula ia mampu membisik raja hati agar berbagi singgasana.

Dalam waktu-waktuku yang kemarin dimana sempat aku sedikit terpuruk ditampar realita, datangnya menyadarkanku tentang bagaimana aku harus bangkit, dan tidak lagi jadi bodoh terkungkung harap semu.

Tapi, siapa bilang aku jadi luluh jatuh seperti lilin meleleh tak berdaya dengan baranya yang menyulut percik kembang api semangat?

Sedikit, sih. Jujur saja.

Namun kakiku kemudian malah memilih berdiri tegak, bergeming di tempat. Semilir angin menggoda untuk ikut hanyut, kukira dengan aku bertahan seperti ini dia akan mengikis karang pijakanku dengan ombaknya. Nyatanya, yang terjadi malah terus terang yang menguatkanku untuk tak rapuh, dan perlahan, tercipta saling yang mutualisme (kukira).

Egoku terlalu besar, kawan. Sungguh naif aku yang ingin selalu jadi juara untukmu. Tiada bekal selain angan, selain harap, dan kawan-kawannya yang sama-sama bersifat semu.

Sepanjang pagi aku bergeming berpangku tangan. Berusaha aku mencerna siklus. 

Lama sudah ada kita, terbilang seratus dua puluh dua hari. Aku mengakui dengan segenap sadar perihal kisah yang kemudian tercipta, berkembang berbiak jadi alinea-alinea yang kasatnya sungguh karismatik. Tarikan napas panjang berikut menghela, kuakui juga dengan sepenuh sadar perihal fana yang ternyata malah benar nyata.

Kemarin dari realita aku mengelak, teguhku ingin melukis takdir sendiri

Kemarin pada keterbatasan aku berpaling, angkuh bersandar pada terka

Kemarin, wahai kemarin yang selalu menolak untuk dilupa

Kemarin, wahai kemarin yang hadir dan tiadanya sesosok raga jadi penentu,

Riangkah, atau sendukah hari.


Tapi sungguh, itulah kemarin.

Dan sungguh, telah kubiarkan kemarin berlalu.

Hari ini, sebuah konklusi telah lahir;

Apa yang semu, ternyata bukan aku dan duniaku

Apa yang semu, 

Ternyata,

Adalah kamu




Komentar

Postingan Populer