Untukmu; Sebuah surat yang tidak akan pernah dikirim.

Aku memaksa diriku untuk paham bahwa aku tidak sepenuhnya jatuh kepadamu. Tapi sebaliknya, aku justru jatuh pada perasaannya. Ya, perasaanku sendiri.

Ada kebahagiaan tersendiri yang memenuhi atmosferku, menyesakkan ruang - ruang dalam kalbuku, saat aku terima balasan pesanmu. Hahaha. Sungguh klise. Tetiba aku langsung bisa terasa mengangkasa, dunia sekitarku bak disulap jadi begitu menawan. Kata demi kata menari - nari merayu hati. Lalu kau kirimkan aku sederet nada - nada beritme teratur, yang membuat perasaanku malah jadi acak adul. Sengaja atau tidak, sadar atau tidak, aku malah menjadikan nada - nada itu pengantar tidurku dan pengiring awal pagiku. Bahagia yang sederhana, tapi sayang sekali aku harus cepat - cepat bangun dan membuka mata, memaksanya melihat bahwa ini hanyalah sebuah kesementaraan dan keterombang - ambingan yang entah berujung apa.

Sayang sekali.

Sungguh kukatakan aku menyayangkan kenapa masa - masa yang begitu membahagiakan ini punya kedok dan malah tidak punya kepastian. Andai saja aku bisa langsung melompat ke masa depan dan memastikan apakah kebahagiaan ini akan menuju jenjang abadi atau tidak. Akankah ia berujung baik atau tidak. Apakah kamu, memang benar akan jadi ujung dimana aku akan berlabuh nanti.

Dan sekarang, sungguh, aku mulai berharap agar semua ini tak melibatkan dua hati. Mungkin sekarang menyenangkan, tapi siapa yang tau esok lusa. Aku berangan, biar saja aku nikmati kesenangan ini sendiri. Dan nanti, biar saja aku yang terima sakit hati. Atau, kalau kamu bersedia, boleh saja kok kamu yang menelan sakit hati itu untukku. Tapi, siapa di dunia ini yang mau tanggung resiko pahit dari sebuah permainan sepele?
Biar saja nanti aku yang menyimpan apa yang tersisa dari semua apa yang pernah jadi kisah.

Jujur saja dan aku minta maaf yang sangat kalau kamu tidak terima. Tapi setidaknya, ini adalah sebuah kejujuran. Ini bukan perasaan yang pertama (meski kamu masih berpotensi untuk jadi yang terakhir) (eh.). Sebelumnya sudah pernah. Dan kurang lebih bermotif sama. Aku berharap aku bisa melawan dengan meyakinkan diriku melalui pelajaran masa lalu. Aku berharap aku kuat untuk tidak terjebak dalam belenggu yang kau ciptakan. Aku berharap aku mampu untuk menahan diriku, untuk lebih berhati - hati dan tidak terperosok. Lagi.

Kenapa? Aku terus mempertanyakan takdir yang membawamu hadir di duniaku. Kenapa? Aku terus protes terhadap keadaan yang serta merta mengujiku dengan datangnya kamu. Kamu kenapa harus masuk ke dalam duniaku? Kamu kenapa harus membuka lebar - lebar tanganmu seakan membiarkan aku bersandar padamu?

Tapi satu lagi pertanyaan; Aku kenapa bisa begitu mudah membiarkanmu membuat semrawut akal sehatku?

Bukannya kita sama - sama tau bahwa kita tak akan pernah mampu menebak hari esok?

Dari kedalaman hati aku terus terang menyatakan kebingunganku. Tapi sungguh, rasionalitas otakku mendadak jadi minim. Siapa lagi kalau bukan kamu pelakunya. Yang tiap hari menggerus pertahanan hatiku.

Bisakah aku membuat hambar perasaan ini? Bisakah hati tidak ikut campur dengan kebersamaan yang aku inginkan jadi pertemanan saja ini?

Aku rasa berteman akan lebih punya prospek dalam hal keabadian. Kita jadi bisa lebih solid, kan? Kita tak harus jadi jauh dan menyesal di esok hari karena melangkahi garis batas hari ini. Tanpa mencoreng citramu, tanpa mengotori reputasiku.

Biarkanlah aku terus berprasangka baik padamu. Jangan bertingkah remeh dan receh. Jangan buat kesementaraan ini seakan - akan abadi meski gejolak hatimu terus mengatakan ini hal biasa yang tanpa resiko.

Jadi, mari berdo'a pada Tuhan semoga Ia menjagaku dan juga kamu, untuk siapapun yang akan mendampingi dalam abadi di esok hari. Mari kita saling dukung untuk jadi pribadi yang lebih baik, bukannya lepas kendali tapi kerap mengharap yang baik datang. Mari kita berdo'a untuk yang terbaik untuk kita.

Katanya, kalau orang baik akan bertemu dengan orang baik juga. Makanya ayo jadi lebih baik. Siapa yang tau aku dan kamu bisa menjadi kita yang lebih nyata, mengucap janji untuk keabadian disaksikan Tuhan, dan mengukir kisah bersama.

(Ups, keceplosan.)

Kairo, 7 Juli 2019

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer